Dalam 2 Menit
Dalam 2 Menit
[Oleh: Alvin Rahmatollah]
Aku tidak ingat secara pasti, alasan apa yang membuatku memutuskan untuk mengunjungi taman ini. Mungkin karena rumahku sendiri sedang kosong. Atau mungkin karena tidak ada rumah lain yang bisa kukunjungi. Bahkan mungkin keduanya!
Either way, sekarang, saat aku sudah di sini, aku malah seperti orang linglung.
Seperti sepatu kiri yang sedang mencari si sepatu kanan.
Biasanya, pengunjung taman ini bisa dihitung dengan menggunakan seluruh jari yang ada di tubuh manusia. Dan kebanyakan dari mereka adalah sepasang sneakers yang sedang melingkarkan dan memainkan tali sepatunya di sepasang hak tinggi.
Tapi sekarang, hampir di setiap mata angin tempat mataku berhenti untuk menatap sebentar, aku selalu menemukan beberapa pasang sepatu berbagai jenis. Entah itu sepasang pantofel dan hak tinggi yang sedang bergandengan tangan. Atau sepasang sendal wanita yang sedang menggendong sepatu bayi dan merundingkan sesuatu dengan sepasang sendal pria di sampingnya. Bahkan pantai di taman ini pun dipenuhi dengan sepasang kaki telanjang berbagai ukuran dan umur.
Aku mengangkat tangan kananku. “4:15″ adalah angka yang terpampang di jam digital yang melilit pergelangannya. Aku pun menghela nafas. Cukup sudah, umpatku dalam hati, seraya sneakersku mulai melangkah dan kedua tanganku mulai sibuk dengan kabel headset yang terlilit.
Beberapa puluh langkah kemudian, mataku terpaku. Menatap satu objek yang tidak terlalu jauh di depan.
Objek itu memakai hak tinggi. Warnanya hitam, kontras dengan warna kulit kakinya yang putih. Rok panjangnya adalah tipe rok yang dengan mudahnya akan tertiup angin yang cukup deras, dan ia berwarna biru langit. Sweater biru lautnya membingkai tangan dan bahunya dengan pas, tidak terlalu ketat, tidak juga longgar.
Walaupun hanya melihat sekilas, tapi aku yakin dia sedang memakai kemeja putih. Kain kerudungnya melambai-melambai ke arahku, seakan mengundangku untuk bertanya siapa gerangan namanya. Sedangkan satu tangannya sibuk menahan kain kerudungnya, mencoba menghentikan lambaian itu.
Sedetik kemudian, aku baru menyadari, bahwa kakiku telah berhenti melangkah.
Aku pun menarik nafas yang dalam.
***
Dia menengok, dan hanya menatapku. Lalu, dia menyipitkan matanya.
Beberapa detik kemudian, “Kalau kamu pikir saya akan tertipu sama trik murahan seperti itu dan akhirnya memberikanmu nama dan nomor hp saya, lebih baik kamu berbalik sekarang dan cari korban lain. Thank you in advance.”
Sebuah senyum yang aku yakin bersifat sarkastik menjadi penutup kata-kata sinisnya itu. Dan aku pun berbalik, melangkah menjauhinya.
Beberapa saat kemudian,
“Hai. Bolehkah aku berkenalan denganmu?,” kataku, setelah menyentuh bahunya dan tersenyum.
Lagi-lagi, dia hanya menatapku, dan lagi-lagi, dia menyipitkan matanya.
“Ini sarkasme ya?”
“Tentu saja tidak. Aku tulus ingin berkenalan denganmu.” Aku masih tersenyum.
“Terlalu kaku…,” dan perlahan, dia pun memalingkan wajahnya.
“Geez. Cerewet banget kamu ya? Pake yang mainstream, dimarahin!
Sopan, diejek. Dan bahkan aku belum tau namamu!”
Tiba-tiba tangan kirinya terjulur, dan dia sudah berhadapan denganku sambil tersenyum.
“Nina!”
Dahiku langsung berkerut. Kedua alisku saling mendekat.
Aku pun menatap matanya, kemudian tangannya yang terjulur, kemudian ke matanya lagi.
“He??”
“Namaku. Nina!”
Antusiasme memenuhi kedua matanya. Seakan mereka sedang menunggu perlakuan yang sama.
“A-Alan,” balasku dengan suara yang bergetar, sambil menyambut tangannya.
“O iya, kenapa pake tangan ..”
Sebelum aku bisa menjawab, dia sudah berbalik ke arahku, menunjukkan lengan kanan sweaternya yang layu. Mataku sempat menatap cukup lama ke arah lengan itu, dan langsung memalingkan wajahku ketika akhirnya menyadarinya.
“Maaf, aku tidak tahu.”
Sebuah tamparan ringan mendarat di pipi kananku beberapa saat kemudian.
“Hal kedua yang saya tidak suka: Jangan. Kasihani. Saya.”
Sebuah kedipan sebelah mata mengikuti kata-katanya. Kata-kata yang mengalir ringan seperti anak sungai di hutan yang damai. Kata-kata yang membuatku merasa bodoh. Kata-kata yang membuatku memutuskan untuk tinggal.
Mataku masih terpaku pada batu itu. Sambil berjalan agak cepat, aku sesekali menengok ke kiriku, memastikan malaikat mungil di sampingku ini tidak terjatuh karena mencoba untuk berjalan secepat aku. Tapi, sepertinya, justru dia yang langkahnya yang lebih cepat, sehingga seakan-akan malaikat mungil ini menarikku.
Sesampainya di tempat tidurnya, si malaikat mungil langsung berjongkok. Dengan cekatan, dia mengeluarkan bunga yang layu dari dalam pot putih itu, dan meletakkan bunga yang sama yang lebih segar sebagai penggantinya. Aku pun hanya bisa tersenyum melihatnya. Bangga sekaligus iba.
“Ayo, Nina kecil. Kasih tau bunda,” kataku, ketika aku rasa malaikat mungilku terlalu lama berdiam diri. Bahkan di depan bundanya, dia masih malu.
“Bunda, ini Nina. Tau gak, bunda?
Kan SD Nina mau bikin drama. Nah, buat drama itu, Nina dan teman-teman Nina harus audisi dulu, supaya dapat peran di dramanya itu.
Coba tebak deh, bunda, Nina dapat peran apa?
PUTRI!!
Nina dapat peran jadi putri, bunda!!!
Katanya, nanti Nina harus make gaun paling cantik sedunia.
Terus Nina juga nanti didandanin, biar jadi putri paling cantik sedunia.”
Si malaikat mungil pun terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian,
“Tapi, menurut Nina, bunda tetep jadi putri yang paling cantik sedunia.
O iya, bilangin ke Allah juga ya, bunda, supaya Nina bisa lancar di dramanya.
Dan bunda harus datang!! Kalaupun Allah gak kasih ijin, bunda tetep harus datang!
Tapi, Nina yakin Allah akan kasih ijin kok.”
Lagi-lagi, aku tak tahan untuk tidak tersenyum. Satu tanganku pun mengusap sudut mata kiriku.”Ya udah, Nina sama Ayah pulang dulu ya, Bunda. Selamat ulang tahun yang ke 31 ya, bunda. Maafin Nina juga, bunda, karena udah bikin bunda dipanggil Allah. InsyaAllah, Nina akan naik kelas 2 nanti dengan nilai yang tinggi.”
Aku pun ikut berjongkok di samping sang malaikat mungil, dan sambil memeluknya, aku berkata, “Selamat ulang tahun ya, Nina. Dan selamat tidur dengan tenang.”
Aku mencium jari telunjukku, dan mengusapnya di atas rumput tempat peristirahatan terakhir Nina. Kenangan selama 10 tahun terakhir pun mulai kembali.
5 tahun setelah pernikahan kami, akhirnya Nina bisa hamil. Akan tetapi, karena tubuhnya yang lemah, Nina tidak selamat, setelah melahirkan malaikat mungil di pelukanku sekarang.
Bantuan langsungnya mungkin sudah berhenti, tapi bantuan-bantuan lain mulai berdatangan dalam bentuk keajaiban. Seri novelku tentang perjalananku dan Nina yang laku keras. Film yang dibuat dari novel itu. Dan, sekarang, malaikat mungil yang ada di pelukanku. Nina kecil adalah keajaiban terbesar yang pernah aku miliki, dan itu semua karena bantuannya.
Terima kasih ya, Nina. Tenanglah disana bersamaNya.
***
Wanita itu masih berdiri di sana. Dan aku masih terpaku berdiri, di titik yang sama, sejak 2 menit yang lalu.
Aku sendiri pun tak percaya, betapa jelas seluruh adegan itu bermain. Tergambar dengan jelas, sejelas fatamorgana. Tapi, hanya sebatas itu.
Langkahku membawaku semakin dekat dengan wanita itu. Degup jantungku yang semakin kencang menggedor-gedor dinding dadaku. Ia seakan ingin keluar, menamparku sekeras mungkin di kedua pipi, dan berteriak, “LAKUKAN SAJA!!!,” tepat di depan wajahku.
Tapi, saat ini, otakku yang berbisik, “kamu hanya akan mempermalukan diri sendiri…,” lebih menguasaiku.
Tiba-tiba, aku berhenti. Tepat di samping wanita berkerudung ini, aku berhenti.
Entah di detik ke berapa.
Entah karena dorongan siapa. Aku tiba-tiba memutuskan untuk memenuhi undangan kerudungnya yang melambai-lambai.
Aku pun menarik nafas yang dalam.
“Boleh tau gak, ini jam berapa?”
Tags:
Cerita Kita
0 comments